Latar Belakang Krisis Asia dan Tingginya KKN di Tubuh Pemerintahan Negara
Di dalam karyanya yang berjudul the politcts of post-Suharto Indonesia, Adam Schwarz melihat bahwa selama 32 masa kepemimpinan Orde Baru, Soeharto telah berhasil membawa Indonesia sejaterah. Ia berpandangan bahwa Soeharto telah sukses menata stabilitas politik dan menciptakan kesuksesan pembangunan ekonomi di Indonesia. Akan tetapi, seiring dengan badai krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1997/1998,tuntutan terhadap turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan makin menguat di masyarakat.Setelah berkuasa selama 32 tahun, pemerintah Orde Baru akhirnya jatuh pada tanggal 21 Mei 1998.
Pemicu dari kejatuhan pemerintahan Orde Baru ini antara lainnya adalah karena tingginya tingkat KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) di dalam pemerintahan. Selain itu, membengkaknya angka utang luar negeri juga menjadi salah satu pemicu dari jatuhnya Orde Baru. Transisi pemerintahan Indonesia di masa ini dilingkupi oleh berbagai gejolak. Berbagai aksi dan demontrasi mahasiswa marak ditemui dijalanan kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung dan Yogyakarta. Aksi turun ke jalan ini telah dimulai semenjak bulan Februari 1988. Tingginya gejolak keamananpun turut mewarnai periode ini. Berbagai tindakan anarkis seperti penjarahan dan pembakaran fasilitas umum pun turut menorehkan sejarah kelam Indonesia di tahun 1998. Krisis legitimasi terhadap pemerintahan Orde Baru pun mulai menguak. Hal ini seiring dengan membumbung tingginya harga barang-barang akibat merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
Penyebab kejatuhan pemerintahan Orde Baru dapat dilihat dari 2 sudut pandang, yaitu sebagai implikasi dari krisis moneter Asia di tahun 1997 dan tingginya tingkat KKN di dalam tubuh pemerintaan. Dari sudut pandang krisis moneter Asia 1997 hingga Maret terus menukik tajam dari angka Rp. 2.600,- tingga Rp. 16.000,- perdolar Amerika Serikat. Penyebabnya adalah tingginya angka hutang luar negeri Indonesia. Dalam sebuah rapat di Bina Graha Jakarta, Presiden Soeharto bersama Radius Prasiro menyatakan bahwa utang luar negeri Indonesia. Dalam sebuah rapat di Bina Graha Jakarta, Presiden Soeharto bermasa Radius Prawiro menyatakan bahwa utang luar negeri Indonesia mencapai 63.462 miliar dolar Amerika Serikat. Angka ini baru yang dibebankan bagi negara. Jumlah utang luar negeri sektor swasta Indonesia mencapai angka 73.962 miliar dolar Amerika Serikat.
Efek domino dari kondisi kejatuhan ekonomi ini langsung berdampak pada kehidupan masyarakat. Tingginya harga barang dan inflasi pun tak terelakkan. Rakyat menjadi cukup sulit untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Bahkan, rakyat harys mengantri untuk mendapatkan sembako dengan harga murah karena harga standar yang dijual di pasar sudah tak terjangkau lagi oleh daya beli masyarakat. Melihat gelagat kehidupan sosial seperti ini, banyak pihak yang menginginkan perubahan. Mahasiswa merupakan salah satu kelompok sosial masyarakat yang paling vokal dalam menyuarakan perbaikan struktur pemerintahan pada saat itu. Mahasiswa pun mulai menyusun strategi untuk memberikan feedback terhadap kelemahan sistem pemerintahan. Berbagai aksi demontrasi pun digelar. Mahasiswa kemudian menyusun agenda reformasi yang ditujukan kepada pemerintah Orde Baru. Isi dari agenda reformasi ini antara lainnya terfokus pada hal-hal berikut:
1. Mengadili Soeharto dan kroni-kroninya.
2. Melakukan amandemen terhadap UUD 1945.
3. Menghapus Dwi fungsi ABRI di dalam struktur pemerintahan negara.
4. Penegakkan supremensi hukum di Indonesia.
5. Mewujudkan pemerintahan yang bersih dari unsur-unsur Korupsi, Kolusi & Nepotisme (KKN).
Menurunnya pamor pemerintahan Orde Baru telah dimulai semenjak penandatanganan perjanjian pemberian dana bantuan IMF pada Medio 1997. Perjanjian penurunan dana bantuan IMF kepada Indonesia yang pertama setelah terjadinya krisis moneter Asia terjadi di bulan Oktober 1997. Di dalam perjanjian yang pertama ini, IMF menurunkan dana bantuan sebesar 43 milyar dolar Amerika Serikat kepada Indonesia. Pemberian dana bantuan ini sebenarnya mengandung 2 kelemahan utama bagi Indonesia, dan hal ini disadari betul oleh rakyat pada saat itu. Kelemahan pertama terletak pada posisi dana bantuan itu sebenarnya. Pemberian dana bantuan belaka. Yang dimaksudkan dana bantuan disini adalah utang luar negeri yang harys dibayarkan kembali oleh Indonesia beserta dengan bunganya, meskipun dengan persentase yang rendah. Masyarakat beserta mahasiswa melihat bahwa hal ini akan berdampak pada makin menumpuknya utang luar negeri Indonesia.
Kelemahan kedua adalah penerapan Structural Adjustment Program (Program Penyesuaian Struktural) dari IMF yang menyertai penurunan dana bantuan tersebut. Yang dimaksudkan dengan Structural Adjustment Program adalah persyaratan IMF bagai Indonesia dalam 4 bidang utama. Pertama, pengetatan kebijakan fiskal, kedua, penghapusan subsidi; ketiga, menutup 16 bank di Indonesia; dan keempat, memerintahkan bank sentral untuk menaikkan tingkat suku bunga. Dampaknya tidak terwujud dalam perbaikan ekonomi nasional yang signifikan. Pada awal tahun 1998, jumlah penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan meningkat dari angka 20 juta orang ke angka 80 juta orang. Jutaan orang juga kehilangan pekerjaan penutupan bank-bank nasional dan sektor usaha karena tidak mendapatkan suntikan dana dari pemerintah. Krisis ekonomi makin bertambah parah.
Perjanjian kedua dengan IMF pun digelar kembali pada 15 Januari 1998. Syarat yang ditekankan IMF bagi Indonesia adalah pemotongan seluruh subsidi rakyat, dan menghapus praktik monopoli. Selain itu, IMF juga mensyaratkan penghapusan segala bentuk subsidi usaha nasional yang diberikan oleh pemerintah. Dalam hal ini yang mendapatkan sorotan paling tajam adalah industri IPTN yang digelar oleh B.J. Habibie, dan industri mobil nasional Timor yang dipegang oleh anak kandung Presiden Soeharto, Hutomo Mandala Putra. Di satu sisi pemotongan subsidi pemerintah terhadap sektor industri tersebut akan membawa implikasi yang baik bagi alokasi dana negara. Akan tetapi, di lain sisi, subsidi untuk makanan dan biaya sosial masyarakat juga harus dipotong. Persyaratan IMF ini kemudian membawa Indonesia kepada keterpurukan ekonomi yang lebih dalam.
Kronologi Pengunduran Diri Soeharto dari Kursi Kepresidenan
Menanggapi kondisi perekonomian yang semakin para, mahasiswa bersama elemen-elemen masyarakat pun mulai bergerak untuk turun kejalan berdemonstrasi menuntut penurunan harga. Berbagai aksi-aksi yang digelar mahasiswa beserta elemen masyarakat mulai bermunculan semenjak bulan Februari 1998, dan mencapai puncaknya bulan Mei 1998. Pada tanggal 12 Mei 1998, berbagai elemen mahasiswa menggelar aksi demontrasi damai menuntut penurunan harga di Jakarta. Di Universitas Trisakti, aksi demontrasi damai pun terjadi. Situasi aksi damai pada hari itu berjalan dengan sangat tertib. Bahkan beberapa mahasiswa putri sempat memberikan bunga tanda simpati kepada para petugas yang sedang bertugas mengamankan aksi demonstrasi damai tersebut. Akan tetapi, situasi kemudian memanas sewaktu hari menjelang sore. Mahasiswa yang ingin melakukan long march menuju DPR/MPR tidak diperbolehkan berjalan lebih jauh oleh para petugas. Mereka diberhentikan tidak jauh dari pintu kampus Trisakti. Didalam insiden bentrokan ini, empat mahasiswa tewas dan puluhan mengalami luka serius. Keempat mahasiswa tersebut adalah Elang Mulya Lesmana, Hafidhin Royan, Hendriawan Sie, dan Heri Hartanto. Mereka kemudian diberi gelar sebagai pahlawan reformasi.
Aksi penembakan terhadap empat mahasiswa inii mengundang berbagai reaksi keras dari masyarakat dan elemen mahasiswa di bebagai daerah. Sebelumnya, seorang mahasiswa dari Yogyakarta yang bernama Moses Gatotkaca juga tewas dalam sebuah bentrokan dengan aparat keamanan sewaktu melakukan aksi menuntut mundurnya Presiden Soeharto. Moses Gatotkaca meninggal pada 8 Mei 1998. Pada tanggal 13 dan 14 Mei 1998, kerusuhan massal yang cenderung mengarah ke tindakan anarkis berupa penjarahan dan penganiayaan menjalar luas di seluruh ibukota. Toko-toko dibakar, barang-barang yang berada di dalamnya dijarah oleh para oknum pelaku kerusuhan, bahkan terjadi banyak kasus penganiayaan. Korban pun banyak berjatuhan, yang jumlahnya mencapai ratusan. Sebagian besar karena terperangkap di dalam toko-toko yang dibakar paksa oleh para oknum-oknum pelaku kerusuhan. Tragedi kerusuhan 13 dan 14 Mei 1998 ini merupakan titik kulminasi depresi masyarakat akibat krisis ekonomi Indonesia. Krisis sosial dan masyarakatpun mulai bermunculan seiring dengan adanya gesekan sosial tersebut.
Suasana Jakarta yang sangat tegang pasca tragedi kerusuhan 13 dan 14 Mei 1998 ini terus berlangsung hingga digelarnya aksi demonstrasi besar-besaran oleh para mahasiswa pada tanggal 19 Mei 1998. Secara berbondong-bondong para mahasiswa yang berasal dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta dan kota-kota lainnya melakukan long march menuju gedung MPR/DPR. Tujuannya adalah untuk menuntut turunnya Presiden Soeharto, menggelar sidang istimewa MPR dan pelaksanaan reformasi aksi serupa juga terjadi di Yogyakarta. Dikota ini, mahasiswa bersama elemen-elemen masyarakat Yogyakarta berkumpul di alun-alun kota. Mereka ingin mendengar maklumat dari Sri Sultan Hamengkubuwono dan Sri Paku Alam mengenai kondisi negara yang sedang tegang.
Pada tanggal yang sama, yaitu 19 Mei 1998, Presiden Soeharto mengundang tokoh-tokoh masyarakat untuk datang ke Istana Negara. Agendanya adalah membahas segala kemungkinan penanganan krisis negara. Tokoh-tokoh yang diundang berjumlah 9 orang. Mereka adalah Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid, Emha Ainun Nadjib, Ali Yafie, Malik Fadjar, Cholil Baidlowi, Sutrisno Muhdam, Ma’aruf Amin dan Ahmad Bagdja. Selain itu, hadir pula Yuhsril Ihza Mahendra, Sekretaris Militer Presiden Mayjen Jasril Jakub dan ajudan Presiden. Didalam pertemuan yang berlangsung hingga 2,5 jam ini, tercapai kesepakatan untuk membentuk suatu badan yang dinamakan Komite Reformasi. Komite ini sebelumnya bernama Dewan Reformasi. Namun kemudian di ubah karena hampir mirip dengan Dewan Revolusi dan Dewan Jenderal seaktu terjadi peristiwa tragedi pemberontakan G-30-S/PKI tahun 1965. Di dalam pertemuan ini, juga disepakati bahwa Presiden Soeharto akan melakukan reshuffle Kabinet Pembangunan VI, dan mengubah nama susunan kabinet Reformasi. Sedangkan berdasarkan pidatonya beliau sesaat setelah pertemuan ini digelar, Presiden Soeharto juga menyatakan tugas-tugas yang diemban oleh Komite Reformasi menurut beliau dalam pidato ini adalah untuk menyelesaikan UU Kepartaian, UU Pemilu, UU Susunan dan Kedudukan MPR/DPR serta DPRD, UU Anto-Monopoli, UU Anti-Korupsi dan lainnya.
Masuk tanggal 20 Mei 1998, suasana di gedung MPR/DPR telah penuh sesak oleh mahasiswa. Berbagai elemen mahasiswa yang berasal dari perguruan-perguruan tinggi di Indonesia berkumpul bersama.Jumlahnya mencapai 50.000 orang. Di lain sisi, berbagai tokoh masyarakat seperti Amien Rain dan Emil Salim menyatakan kekecewaan dengan pidato Presiden Soeharto tersebut. Penyebabnya adalah bahwa sebenarnya presiden Soeharto meminta pemberian waktu enam bulan untuk mengelar pemilihan Umum secara kontitusional. Akan tetapi, hal tersebut tidak dinyatakan di dalam pidato beliau selepas pertemuan itu selesai. Sedangkan di lain sisi Soeharto dari kursi kepresidenan pada saat itu. Emil Salim, melalui Gema Madani menyerukan agar Presiden Soeharto melaksanakan niatnya untuk lengser keprabon (turun dari tahta kekuasaan) pada saat itu juga (20 Mei 1998). Amin Rais juga berada dalam posisi yang sama. Ia menginginkan reformasi dilaksanakan secepatnya.
Sementara di lain sisi, isu untuk melakukan aksi memperingati Hari Kebangkitan Nasional tanggal 20 Mei 1998 di Lapangan Monas pun sudah menyebar. Dalam kondisi negara yang sangat tegang pada saat itu, aksi ini dimungkinkan akan menimbulkan bentrokan yang besar dan mengakibatkan jatuhnya korban, karena pada saat yang bersamaan, pengamanan di seputra Lapangan Monas dan Istana Negara juga sangat ketat. Akhirnya, pada tanggal 20 Mei 1998 pukul 05.30 pagi, Amin Rais mengumumkan pembatalan apel dan aksi di Monas tersebut.
Sementara, kekuatan mahasiswa makin menguat dan solit digedung MPR/DPR. Mahasiswa pun memutuskan untuk memusatkan aksi memperingati Hari Kebangkitan Nasional di Halaman gedung MPR/DPR. Aksi pada tanggal 20 Mei 1998 ini dihari oleh barbagai tokoh-tokoh masyarakat. Pada pukul 11.30, Amien Rais datang ke gedung MPR/DPR. Selanjutnya hadir pula tokoh-tokoh masyarakat seperti Deliar Noer, Emil Salim, Erna Witoelar, Albert Hasibuan, Saparinah Sadli, Nursyahbani Katjasungkana, A.M. Fatwa, Adnan Buyung Nasution, Permadi, Matori Abdul Djalil dan Wimar Witoelar. Bahkan, tokoh-tokoh seni Indonesia pun hadir, seperti Dono Warkop, Garin Nugroho dan Neno Warisman.
Aksi ini secara sporadis memunculkan dukungan moral dari seluruh elemen bangsa. Bahkan, sumbangan-sumbangan nasi bungkus dan air minum dari berbagai kalangan kepada mahasiswa yang sedanga berdemo di gedung MPR/DPR pun terus berdatangan. Hal ini merupakan simbol bahwa perjuangan mahasiswa pada saat itu secara moral telah berhasil memunculkan solidaritas di kalangan masyarakat. Di tanggal ini pula (20 Mei 1998), Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Madeleine Albright secara nyata memberikan pernyataannya yang meminta Presiden Soeharto untuk segera mundur. Pernyataan Albright ini disiarkan secara live dalam breaking news CNN pada pukul 22.48 WIB. Ia menyatakan bahwa penguduran diri Presiden Soeharto sudah merupakan jalan yang semestinya untuk memberi jalan bagi transisi demokrasi di Indonesia. Ia menegaskan bahwa kesempatan ini merupakan momentum bagi Presiden Seoharto untuk menorehkan langkah historisnya sebagai negarawan.
Di tanggal ini pula, pada pukul 14.30, sejumlah 14 menteri yang berada di bawah koordinasi Menko Ekuin, Ginandjar Kartasasmita menyatakan penolakannya untuk dicalonkan kembali di dalam Kabinet Reformasi. Mahasiswa secara bersama masih terus melakukan aksinya di gedung MPR/DPR. Sementara pada pukul 16.45, terjadi pertemuan antara perwakilan mahasiswa dengan pimpinan MPR/DPR di lantai 3 gedung lama MPR/DPR. Di dalam pertemuan ini, mahasiswa memberikan batas waktu pengunduran diri Soeharto hingga hari jumat tanggal 22 Mei 1998. Apabila tidak ada kepastian lebih lanjut, maka pada hari Senin tanggal 25 Mei 1998 pimpinan DPR akan mempersiapkan Sidang Istimewa MPR.
Aksi di gedung MPR/DPR mencapai puncaknya pada 21 Mei 1998. Pada pukul 09.06 WIB, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya dari posisi Presiden Republik Indonesia. Bertempat di Credential Room, Istana Negara Jakarta, dengan disaksikan oleh Ketua Mahkamah Agung, Soeharto mengakhiri jabatan presidensialnya yang telah diemban selama 32 tahun. Naskah pengunduran diri Soeharto, Mahkamah Agung langsung melantik Wakil Presiden Baharuddin Jusuf Habibie sebagai Presiden Republik Indonesia yang baru. Hal ini sesuai amanat di dalam pasal 30 UUD 1945 yang berbunyi: “Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya”. Momentum turunnya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 ini mengakhiri pemerintahan Orde Baru yang telah berjalan selama 32 tahun di Indonesia.
wuuuh
ReplyDelete